Dari Jempol ke Gempar, Opini yang Menyebar

Dulu, opini publik lahir dari diskusi di warung kopi, forum kampus, atau lewat layar televisi. Sekarang, semua itu bisa dilakukan hanya dengan membuka ponsel, mengklik ikon media sosial, dan… voilà! Kita terbenam dalam lautan opini tanpa akhir.

Sumber: Goodstats.id

Media sosial kini telah menjadi benteng utama dalam membentuk pendapat publik. Siapa pun, mulai dari siswa SMA hingga pejabat negara, memiliki kesempatan untuk bersuara dan memberikan pengaruh. Di platform, seperti Twitter, satu utas bisa memengaruhi kebijakan,  sementara di TikTok, satu video mampu mengubah pandangan jutaan orang tentang isu sosial.

Namun, di balik derasnya informasi yang beredar, kita harus tetap waspada. Media sosial bukan sekadar ruang untuk berekspresi, ia juga merupakan ladang bagi hoaks, manipulasi opini, dan perang algoritma. Pernahkah kamu merasakan bahwa timeline-mu banyak memuat hal yang itu-itu saja? Itu karena algoritma hanya menyajikan apa yang ingin kamu lihat, bukan apa yang seharusnya kamu ketahui.

Contohnya, saat isu politik sedang memanas, yang muncul di lini masa kita sering kali hanyalah pendapat yang selaras. Akibatnya, ruang diskusi menjadi sempit dan kebenaran menjadi relatif, tergantung pada siapa yang lebih viral. Menyeramkan, bukan?

Sadar atau tidak, kita sedang hidup di era algoritma—di mana apa yang kita lihat, baca, dan yakini sangat dipengaruhi oleh sistem yang bekerja diam-diam di balik layar. Algoritma media sosial cenderung menyajikan konten yang sesuai dengan minat dan pandangan kita. Akibatnya, kita bisa terjebak dalam echo chamber—lingkungan digital yang memantulkan kembali pandangan kita sendiri tanpa tantangan dari perspektif lain.

Sumber: Kompas.com

Fenomena ini membuat ruang publik digital menjadi semakin terpolarisasi. Isu sederhana bisa berubah menjadi perdebatan panas. Bahkan, kebenaran pun jadi relatif, tergantung siapa yang bicara, seberapa banyak yang menyukai, dan seberapa cepat kontennya tersebar.

Namun, jangan terburu-buru untuk menyalahkan semuanya. Media sosial juga bisa menjadi alat yang luar biasa untuk menyuarakan kebenaran. Gerakan sosial yang menyuarakan isu-isu krusial menunjukkan bahwa netizen memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan yang nyata.

Yang terpenting, kita perlu lebih kritis. Jangan sembarangan menyebarkan informasi dan jangan mudah percaya. Tanyakan kepada diri sendiri, siapa sumbernya? Apakah ada data yang mendukung atau ini hanya sekadar drama belaka?

Di tengah hiruk pikuk dunia digital, suara kita tetap memiliki makna. Namun, pastikan bahwa suara itu bukan hanya sekadar mengikuti arus. Jadilah netizen yang tidak hanya bersuara, tetapi juga bertanggung jawab. (MAS/NYL)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *