Gen Z Under Pressure: Lingkungan Sosial Memicu Bom Waktu Kesehatan Mental

Generasi Z (lahir 1997-2012) kerap dijuluki sebagai generasi paling terbuka dalam membicarakan kesehatan mental. Namun, di balik keterbukaan itu, mereka justru menghadapi krisis yang mengkhawatirkan. Data dari WHO menyebutkan bahwa 1 dari 7 remaja Gen Z mengalami gangguan mental, mulai dari kecemasan hingga depresi. Lingkungan sosial yang seharusnya menjadi tempat berlindung, justru berubah menjadi “medan perang”. Media sosial, misalnya, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, media sosial menjadi wadah ekspresi diri, di sisi lain memicu toxic comparison dan tekanan untuk selalu tampil sempurna.

Studi dari Journal of Social and Clinical Psychology (2023) membuktikan bahwa remaja yang menghabiskan lebih dari 3 jam sehari di platform, seperti Instagram atau TikTok 2x lebih rentan merasa tidak percaya diri. Belum lagi tekanan akademik dan karir yang mencekik. Di Indonesia, budaya “harus masuk PTN top atau gagal,” dan tuntutan side hustle ala Gen Z, membuat banyak anak muda kelelahan mental sebelum memasuki usia 25.


Sumber: unsplash.com

Lingkungan sosial Gen Z tidak hanya terkait dengan media sosial. Ada tiga faktor “silent killer” yang sering diabaikan, yaitu keluarga, pergaulan, dan sistem pendidikan. Banyak orang tua yang masih menganggap gangguan mental sebagai “kurang iman” atau “drama belaka” sehingga 68% remaja enggan curhat kepada keluarga (survei Into the Light Indonesia, 2022). Di lingkup pertemanan, Gen Z kerap terjebak dalam standar tak tertulis, seperti harus selalu cool, produktif, dan mengikuti tren. Jika tidak, risiko dikucilkan atau di-bully secara halus (microaggression) semakin tinggi. Sementara itu, sistem pendidikan yang fokus pada hafalan, beban tugas yang menumpuk, dan stigma “anak pemalas” bagi yang mengaku lelah, justru memperparah stres kronis. Kombinasi tekanan ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, seolah lingkungan sosial sengaja dirancang untuk menghancurkan mental generasi muda.

Sumber: unsplash.com

Namun, di balik itu semua, Gen Z bukan generasi yang diam. Mereka justru menjadi pionir perubahan dengan memanfaatkan media sosial untuk kampanye #MentalHealthMatters, mendorong perusahaan menyediakan mental health leave, dan membuka dialog dengan orang tua melalui konten kreatif. Akun media sosial, seperti @DearYoungster.id atau adanya gerakan burnout awareness di TikTok membuktikan bahwa Gen Z mampu mengubah narasi. Solusi nyata juga perlu datang dari lingkungan terdekat, orang tua harus mengganti kalimat menghakimi dengan dukungan emosional, sekolah/kampus perlu menghadirkan psikolog dan mengurangi beban akademik, serta pemerintah harus memperbanyak klinik kesehatan mental gratis. Bersama-sama, kita bisa mengubah “bom waktu” ini menjadi kekuatan kolektif. Seperti pesan Najwa Shihab, “Merasa tidak baik-baik saja itu wajar. Yang tidak wajar adalah memaksa diri untuk selalu baik-baik saja.” (UKS/SZA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *