Siapa, sih, yang tidak suka jajan makanan kekinian? Mulai dari croffle, dessert box, Korean garlic bread, sampai ramen ala Korea, semuanya mudah ditemukan dan sering berada di FYP atau explore page. Makanan modern tersebut memang lezat serta memiliki tampilan yang menarik dan dapat direkomendasikan di media sosial, seperti Instagram. Makanan modern kebanyakan merupakan hasil inovasi atau gabungan dari berbagai budaya.
Namun, di tengah tren makanan viral yang berganti seiring berjalannya waktu, terkadang kita lupa kalau kuliner tradisional juga memiliki tempat spesial yang tidak tergantikan. Makanan tradisional tidak hanya tentang mengenyangkan perut, tetapi setiap resepnya memiliki nilai-nilai budaya, sejarah, dan filosofi hidup yang diwariskan secara turun-temurun.
Mari bayangkan! Kapan terakhir kali kalian makan makanan khas daerah? Rawon, gudeg, sate lilit, laksan, hingga papeda, semuanya memiliki cerita berbeda. Misalnya, rendang dari Minangkabau yang memerlukan waktu lama dalam proses memasaknya sehingga dibutuhkan kesabaran. Hal tersebut menjadi simbol ketekunan, cinta, dan rasa syukur. Selain itu, terdapat gudeg dari Yogyakarta yang rasanya manis dan nyaman kalem, seperti mencerminkan karakter masyarakat Yogyakarta yang lemah lembut dan bersahaja.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, kuliner tradisional makin menurun peminatnya. Banyak anak muda yang lebih mengenal makanan luar negeri atau yang sedang viral dibanding masakan daerahnya sendiri. Tidak sedikit pula yang merasa bahwa makanan tradisional itu jadul, memiliki proses pembuatan yang rumit, dan kurang sesuai dengan selera masa kini. Padahal, kalau dibiarkan secara berkelanjutan, kita bisa kehilangan warisan yang memiliki cita rasa yang berharga.
Menjaga kuliner tradisional bukan berarti anti terhadap makanan modern dan harus kembali ke zaman dulu. Akan tetapi, kita bisa menyeimbangkan keduanya. Kita tetap bisa menikmati ramen dan croffle, tetapi jangan lupa untuk mendukung makanan khas Indonesia. Kita bisa memulainya dari hal kecil, seperti jajan di warung makanan tradisional, beli makanan dari UMKM, ikut acara kuliner daerah, dan mencoba masakan tradisional dengan resep keluarga di rumah.
Untuk yang aktif di media sosial, kalian bisa mempromosikan kuliner tradisional kepada khalayak ramai. Misalnya, membuat konten review makanan khas daerah, cerita sejarah tentang makanan tersebut, dan melakukan kolaborasi antara makanan tradisional dan modern. Siapa tahu dengan cara tersebut dapat menghasilkan inovasi baru yang mengangkat kuliner lokal ke level internasional.
Modernisasi memang tidak bisa dihindari, tetapi bukan berarti kita harus melupakan budaya kita sendiri karena makanan tersebut bagian dari identitas bangsa. Setiap cita rasa memiliki kenangan masa kecil yang dimulai dari dapur nenek, semangat gotong royong ketika memasak, dan kekayaan budaya yang tidak dimiliki negara lain. Mulai sekarang, yuk, jangan hanya ikut tren, tetapi juga bantu lestarikan warisan rasa. Kuliner tradisional tidak hanya milik masa lalu, tetapi bagian penting dari masa depan Indonesia. (ANS /FTH)
You may also like
Saat Ketegangan Timur Tengah Mengoyak Ekonomi dan Meremukkan Harapan Rakyat
Seni Memaksimalkan Jeda: Mengelola Waktu Liburan untuk Rejuvenasi Optimal
COC Kembali, Waktunya Pelajar Unjuk Aksi dan Prestasi
Challenge Detoks Media Sosial: Berani Coba? Cek Manfaatnya!
Selat Hormuz: Jalur Kecil yang Menggenggam Dunia