Bukan lagi soal bekerja keras, kini yang menjadi sorotan adalah bekerja secukupnya. Fenomena quiet quitting atau “berhenti diam-diam”, mengguncang lanskap dunia kerja, terutama di kalangan generasi muda. Alih-alih dianggap sebagai kemalasan, gerakan ini justru menyimpan narasi yang lebih kompleks tentang keseimbangan hidup, ekspektasi yang tidak terpenuhi, dan pencarian makna di balik tradisi kantor.
Berbeda dengan anggapan umum, quiet quitting tidak berarti pekerja benar-benar berhenti dari pekerjaan mereka. Sebaliknya, dijelaskan bahwa mereka secara sadar menarik diri dari ekspektasi untuk melampaui dan terlampaui tanpa adanya kompensasi atau apresiasi yang seimbang. Disebutkan bahwa banyak pekerja muda sering kali merasa terjebak dalam budaya kerja yang menuntut dedikasi twenty-four seventanpa adanya batasan yang jelas antara kehidupan profesional dan pribadi.
Sumber: IDN Times
Fenomena ini juga dipicu oleh kurangnya apresiasi dan pengakuan atas kerja keras. Survei terbaru dari Indonesian Youth Career Network menunjukkan bahwa 67% pekerja muda merasa kurang dihargai di tempat kerja mereka. Dijelaskan bahwa ketika kontribusi ekstra tidak diimbangi dengan promosi, kenaikan gaji, atau bahkan sekadar ucapan terima kasih, hal tersebut memicu turunnya motivasi untuk melampaui ekspektasi.
Selain itu, isu kesehatan mental juga berkontribusi penting dalam hal ini. Tekanan untuk terus produktif dan selalu “terhubung” dapat menyebabkan stres dan burnout. Disebutkan bahwa quiet quitting bisa menjadi mekanisme pertahanan bagi sebagian pekerja muda untuk melindungi kesehatan mental mereka dengan menetapkan batasan yang lebih tegas.
Namun, sangat penting untuk ditekankan agar tidak menggeneralisasi, karena tidak semua pekerja muda yang melakukan quiet quitting memiliki alasan yang sama. Diakui pula bahwa ada sebagian yang mungkin memang kurang termotivasi atau memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap dunia kerja.
Para ahli sumber daya manusia berpendapat bahwa fenomena ini adalah sinyal bagi perusahaan untuk mengevaluasi kembali budaya kerja mereka. Perusahaan disarankan untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, memberikan apresiasi yang layak, dan menawarkan peluang pengembangan karier yang jelas. Hal tersebut dapat menjadi kunci untuk mengatasi quiet quitting dan meningkatkan partisipasi aktif karyawan.
Dr. Maya Andini, seorang psikolog industri dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa perusahaan perlu mendengarkan kekhawatiran para pekerja muda. Ia menambahkan bahwa menciptakan keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kesejahteraan karyawan adalah investasi jangka panjang yang akan menguntungkan kedua belah pihak.
Alih-alih menuduh generasi muda sebagai pemalas, mungkin sudah saatnya untuk melihat quiet quitting sebagai cerminan dari perubahan ekspektasi dan prioritas dalam dunia kerja modern. Ini adalah panggilan bagi perusahaan untuk beradaptasi dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih berkelanjutan dan menghargai kontribusi setiap individu. (EHP/NRL)
You may also like
Saat Ketegangan Timur Tengah Mengoyak Ekonomi dan Meremukkan Harapan Rakyat
Seni Memaksimalkan Jeda: Mengelola Waktu Liburan untuk Rejuvenasi Optimal
COC Kembali, Waktunya Pelajar Unjuk Aksi dan Prestasi
Challenge Detoks Media Sosial: Berani Coba? Cek Manfaatnya!
Selat Hormuz: Jalur Kecil yang Menggenggam Dunia