Sumber: Republika

Maulid Nabi Muhammad: Meneladani Kepemimpinan yang Adil di Tengah Kekecewaan pada Kekuasaan

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan sebuah momentum refleksi. Di tengah situasi bangsa yang diwarnai kegelisahan akibat kebijakan yang kerap tidak berpihak pada rakyat, Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi ruang untuk kembali mengingat sosok Nabi Muhammad. Beliau bukan hanya hadir sebagai pembawa risalah, tetapi juga sebagai teladan kepemimpinan yang adil, amanah, rendah hati, serta selalu mendahulukan kemaslahatan umat di atas kepentingan dirinya.

Di berbagai daerah di Indonesia, perayaan Maulid biasanya diramaikan dengan lantunan selawat, pembacaan barzanji, tablig akbar, hingga berbagi makanan bersama. Tradisi-tradisi ini bukan sekadar seremoni, melainkan ruang untuk meneguhkan kembali rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW sekaligus menghidupkan kembali nilai-nilai yang beliau perjuangkan. Namun, peringatan maulid tahun ini berlangsung dalam suasana politik dan sosial yang bergejolak. Gelombang unjuk rasa kembali menggema di berbagai daerah, menyuarakan kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Momentum ini menimbulkan pertanyaan besar, “Di manakah teladan kepemimpinan Rasulullah yang semestinya dijadikan pedoman oleh para pemimpin negeri ini?”

Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah teladan pemimpin yang adil dan bijaksana. Piagam Madinah, misalnya, menjadi contoh nyata bagaimana beliau menempatkan keadilan sebagai fondasi, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi komunitas lain. Rasulullah menegaskan bahwa pemimpin sejati merupakan pelayan umat. Dalam hadisnya disebutkan:

Ketahuilah setiap dari kalian adalah seorang pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin orang banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya… (HR. Bukhari Muslim).

Amanah adalah kata kunci yang seharusnya melekat pada siapa pun yang diberi kuasa. Rasulullah dikenal tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan, tidak mengambil keuntungan pribadi, dan selalu mendengarkan suara umat. Bahkan kritik dan masukan dari rakyat kecil pun beliau terima dengan lapang dada. Prinsip dasar Rasulullah jelas menempatkan pemimpin sebagai pelayan umat bukan penguasa yang memeras rakyat. Oleh karena itu, ketika rakyat turun ke jalan untuk mengingatkan, sesungguhnya itu adalah bagian dari ikhtiar menjaga amanah agar tidak disalahgunakan.

Namun, realitas politik kita hari ini tampak bergerak menjauh dari teladan itu. Alih alih melayani, banyak kebijakan justru menambah beban masyarakat. Kritik rakyat tidak dipandang sebagai masukan untuk perbaikan, sebaliknya dianggap sebagai ancaman yang harus ditekan. Fenomena inilah yang banyak dirasakan masyarakat Indonesia belakangan ini. Di tengah maraknya demonstrasi, pemimpin idealnya tidak menutup telinga, tetapi membuka ruang dialog. Demonstrasi yang terjadi menunjukkan bahwa rakyat sudah lama menyuarakan aspirasi, tetapi respons yang datang acap kali keras, penuh arogansi, dan menutup ruang dialog itu sendiri.

Sumber: Balikpapan Pos

Dalam Islam, kepemimpinan yang zalim jelas dikecam. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa pemimpin yang tidak adil akan menjadi orang dengan hisab paling berat di akhirat. Zalim bukan hanya melakukan kekerasan fisik, melainkan juga ketika kebijakan menindas rakyat kecil, mengabaikan jeritan penderitaan, dan lebih berpihak pada kepentingan segelintir elite.

Di titik inilah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW semestinya menjadi ruang untuk menagih janji moral para pemimpin negeri ini untuk kembali mengingat bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan warisan untuk menindas yang lemah dan kursi jabatan adalah sarana melayani, bukan singgasana untuk memperkaya diri.

Rasulullah menunjukkan bahwa pemimpin sejati tidak anti kritik. Nabi Muhammad SAW selalu membuka ruang bagi sahabat-Nya untuk memberi kritik dan masukan, meski tidak jarang berbeda dengan pandangan beliau. Kritik tersebut justru dijadikan sebagai bahan untuk memperbaiki umat. Sementara itu, di negeri kita, kritik kerap dianggap sebagai ancaman stabilitas. Padahal, suara rakyat adalah cermin untuk melihat sejauh mana keadilan telah ditegakkan.

Maulid bukan hanya pengingat bagi umat agar semakin cinta kepada Rasul, tetapi juga peringatan keras bagi para pemimpin agar kembali meneladani kepemimpinan mulia Nabi Muhammad. Rakyat memang dituntut menyampaikan kritik dengan bermartabat. Namun, tanggung jawab terbesar tetap berada di pundak pemimpin agar tidak zalim, tidak menutup mata, dan tidak tuli terhadap suara masyarakat.

Pada akhirnya, Maulid Nabi Muhammad SAW adalah pengingat bahwa kekuatan bukan diukur dari kursi atau jabatan, tetapi dari seberapa besar kita mampu menegakkan keadilan. Keadilan, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, lahir dari keberanian untuk mendengar serta berpihak pada mereka yang lemah. Rasulullah memimpin dengan hati, bukan dengan kekuasaan yang membungkam. Jika bangsa ini ingin keluar dari krisis, para pemimpin harus berani bercermin pada teladan beliau. Sebab, pada akhirnya, sejarah tidak mencatat seberapa lama seseorang berkuasa, melainkan seberapa adil ia menjalankan amanah kekuasaan. (ANF/SZA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *