Sumber: RRI.co.id

Otrovert: Untuk Kita yang Terjebak Antara Introvert dan Extrovert

Di era media sosial dan self-discovery yang makin ramai, muncul sebuah istilah baru yang mencuri perhatian, yakni otrovert. Kata ini mulai digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang merasa tidak sepenuhnya cocok disebut introvert maupun extrovert. Meski hingga saat ini istilah ini belum diakui secara resmi dalam dunia psikologi, resonansinya cukup kuat, terutama di kalangan anak muda yang merasa label lama terlalu kaku.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan otrovert? Istilah ini digunakan oleh mereka yang merasa kadang nyaman berinteraksi di tengah keramaian, tetapi pada waktu lain justru lebih suka menyendiri. Mereka bukan tipe yang selalu energik di kerumunan seperti extrovert, tetapi juga tidak selalu nyaman dalam keheningan ala introvert. Dengan kata lain, otrovert menggambarkan pribadi yang lebih fleksibel, menyesuaikan diri dengan situasi, suasana hati, atau lingkungan.

Jika dilihat dari sudut pandang psikologi, istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan hal ini sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu ambivert. Susan C. Young pernah mengatakan, “An ambivert navigates the introvert/extrovert spectrum with ease since they do not fit directly into either category.” Ungkapan ini menggambarkan bahwa ambivert, atau dalam konteks populer disebut otrovert, mampu bergerak luwes di antara dua spektrum kepribadian tersebut.

Psikolog Laurie Anne Helgoe juga menambahkan bahwa kepribadian manusia jauh lebih kompleks daripada sekadar memilih salah satu kotak introvert atau extrovert. Ia menegaskan bahwa banyak orang membawa bagian dari keduanya dan bisa berubah tergantung situasi. Hal ini sejalan dengan gagasan Kimball Young, sosiolog yang memperkenalkan istilah ambivert sejak awal abad ke-20, yang menunjukkan adanya orang-orang yang memang berada di tengah-tengah.

Sumber: Mployee

Meski secara ilmiah otrovert belum diakui sebagai tipe baru, istilah ini memiliki daya tarik tersendiri. Pertama, ia memberi ruang bagi identitas personal karena tidak semua orang merasa cocok dengan label yang ada. Kedua, istilah ini membantu melawan stigma bahwa introvert itu pemalu dan extrovert terlalu sibuk mencari perhatian. Dengan kata lain, otrovert menawarkan sudut pandang baru bahwa kepribadian bisa dinamis dan menyesuaikan zaman.

Pada akhirnya, apakah kita menyebutnya ambivert atau otrovert, hal penting yang perlu diingat adalah manusia tidak pernah benar-benar statis. Jika kamu merasa berada di tengah-tengah, itu bukan kelemahan, melainkan sebuah kekuatan. Kepribadian yang lentur justru bisa menjadi bekal berharga dalam menghadapi dunia yang terus berubah. (ADS/NYL)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *