Sumber: ANTARA News Megapolitan

Sumber: ANTARA News Megapolitan

Frugal Living: Strategi Bertahan Hidup di Tengah Gempuran Ekonomi Modern

 

Sumber: ANTARA News Megapolitan

Ketika dunia tengah bergulat dengan inflasi yang terus merayap, kenaikan harga kebutuhan pokok, serta ketidakpastian ekonomi global, istilah frugal living kembali mencuat sebagai jawaban atas keresahan finansial masa kini. Di Indonesia, pembicaraan tentang gaya hidup hemat makin relevan sejak pemerintah mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Bagi banyak kalangan, terutama kelas menengah urban, kebijakan ini bukan sekadar angka dalam berita, melainkan tanda untuk mengatur ulang cara hidup dan cara belanja.

Menurut laporan Merdeka (2025), tren frugal living mulai populer di media sosial karena masyarakat mencari strategi nyata untuk mengimbangi kenaikan harga barang dan jasa akibat kebijakan fiskal tersebut. Sementara itu, Bloomberg Technoz (2025) mencatat bahwa masyarakat Indonesia mulai menekan pengeluaran konsumtif dan beralih ke pola hidup yang lebih efisien, mulai dari memasak di rumah, menunda pembelian barang nonesensial, hingga membatasi langganan digital. Fenomena ini menunjukkan perubahan perilaku ekonomi yang tidak sekadar bersifat temporer, tetapi juga refleksi atas kesadaran baru.

Lebih dari Sekadar Hidup Hemat

Frugal living bukan sekadar tentang mengurangi pengeluaran. Ia adalah filosofi hidup yang berorientasi pada nilai, bukan harga. Artinya, seseorang yang menerapkan gaya hidup ini tidak serta-merta menolak konsumsi, tetapi memilih untuk mengonsumsi secara sadar dan bermakna. NerdWallet (2024) menjelaskan bahwa frugal living berfokus pada penggunaan sumber daya uang, waktu, dan energi secara cermat untuk mencapai tujuan jangka panjang, bukan sekadar menahan diri dari kesenangan sesaat.

Sumber: Rey Blog

Dalam konteks sosial modern, pendekatan ini menjadi semakin penting. Gempuran budaya konsumtif melalui media digital telah menciptakan tekanan sosial yang besar, yaitu keinginan untuk selalu terlihat mampu dan terkini. Namun, makin banyak orang muda yang mulai sadar bahwa gaya hidup konsumtif hanya menciptakan siklus kelelahan finansial. Survei Bank of America (2025) bahkan menemukan bahwa lebih dari 50% Gen Z di Amerika Serikat mengurangi pengeluaran untuk aktivitas sosial, seperti kencan karena kenaikan biaya hidup. Fenomena serupa juga mulai terlihat di kota-kota besar Indonesia, para generasi muda mulai memprioritaskan tabungan dan investasi ketimbang sekadar hang out mingguan.

Fenomena Ekonomi dan Pergeseran Nilai

Secara ekonomi, frugal living dapat dilihat sebagai respons alami terhadap penurunan daya beli dan stagnasi pendapatan riil. Ketika biaya hidup meningkat tanpa diimbangi kenaikan penghasilan yang signifikan, masyarakat dipaksa mencari keseimbangan baru. Kompas Money (2025) menyoroti bahwa keluarga kelas menengah Indonesia kini cenderung menyesuaikan gaya hidup dengan beralih ke merek lokal, mengurangi cicilan konsumtif, dan menunda pembelian kendaraan baru. Langkah-langkah kecil ini mungkin terlihat sederhana, tetapi memiliki dampak besar terhadap keberlanjutan finansial jangka panjang.

Lebih jauh, frugal living juga berkaitan erat dengan kesadaran lingkungan. Dengan membeli lebih sedikit dan menggunakan barang lebih lama, seseorang secara tidak langsung menekan produksi limbah dan emisi karbon. The Indonesian Express (2025) menyebut bahwa gaya hidup hemat modern kini memiliki dimensi baru, bukan hanya untuk menghemat uang, tetapi juga untuk berkontribusi terhadap keberlanjutan planet. Ini menunjukkan bahwa frugal living telah berevolusi menjadi gerakan sosial yang memadukan kesadaran finansial, etika konsumsi, dan tanggung jawab ekologis.

Frugal Living sebagai Strategi Hidup Modern

Menjalankan frugal living bukan berarti hidup dalam kekurangan, melainkan hidup dengan kesadaran. Esensinya adalah mengutamakan kualitas dibanding kuantitas serta menemukan kepuasan dalam efisiensi. Alih-alih menolak kenyamanan, para penganut gaya hidup ini justru mencari kenyamanan yang lebih cerdas, seperti memilih pengalaman bermakna daripada barang mewah atau menabung untuk masa depan daripada berutang demi gengsi.

Dalam dunia yang semakin cepat dan mahal, frugal living bisa menjadi life strategy yang menjaga keseimbangan antara ambisi dan realitas. Ia memberi ruang untuk berpikir panjang, membangun stabilitas finansial, serta mengembalikan kendali atas hidup yang selama ini didikte oleh algoritma belanja dan iklan.

Ketika dunia menatap tahun 2025 dengan ketidakpastian ekonomi yang masih menggantung, frugal living muncul sebagai bentuk kebijaksanaan baru dalam menghadapi zaman. Ia bukan sekadar tren viral di media sosial, melainkan refleksi atas kebutuhan manusia untuk hidup lebih tenang, terarah, dan bertanggung jawab terhadap sumber daya yang dimiliki.

Frugal living mengajarkan kita satu hal penting bahwa kesejahteraan sejati tidak selalu datang dari berapa banyak yang kita miliki, tetapi dari seberapa bijak kita mengelola apa yang sudah ada. (KYN/ARL)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *