Sumber: terkininews

Krisis Empati Mahasiswa: Kasus Bullying di Universitas Udayana dan Implikasinya bagi Kampus Indonesia

Pada pertengahan Oktober 2025, kasus dugaan perundungan di Universitas Udayana (Unud), Bali, mengguncang dunia pendidikan tinggi Indonesia.  Timothy, seorang mahasiswa FISIP, ditemukan meninggal dunia setelah diduga melompat dari salah satu gedung kampus. Peristiwa tragis ini segera menjadi perhatian nasional sebab adanya dugaan bahwa Timothy menjadi korban perundungan oleh sesama mahasiswa dan beredarnya tangkapan layar berisikan percakapan yang mengolok-olok korban, bahkan setelah ia meninggal dunia.  Tangkapan layar tersebut menyebar luas dan memicu kemarahan publik serta menimbulkan pertanyaan besar perihal budaya empati di kalangan mahasiswa.

Pihak universitas pun segera memberikan respons resmi. Universitas Udayana, melalui Dekanat FISIP, menyampaikan belasungkawa yang mendalam dan menegaskan akan menyelidiki kebenaran dugaan perundungan tersebut.  Tak lama kemudian, sejumlah mahasiswa yang diketahui merupakan anggota BEM dan HIMA kampus dipecat karena terbukti mengolok-olok korban di media sosial. Selain itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), melalui Ditjen Dikti, menegaskan bahwa tindakan perundungan tidak dapat diterima di lingkungan pendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bullying sudah menjadi masalah institusional, bukan lagi persoalan individu.

Sumber: tribunnews

Tragedi yang terjadi di Universitas Udayana mencerminkan fenomena yang lebih luas tentang bagaimana kekerasan psikologis dapat terjadi di kampus, baik melalui ruang digital maupun interaksi langsung. Normalisasi candaan yang merendahkan di grup percakapan, organisasi mahasiswa, atau media sosial menjadi bentuk perundungan baru yang sulit dikontrol, tetapi berdampak besar terhadap kesehatan mental korban. Dalam situasi ini, media sosial yang seharusnya digunakan untuk berkomunikasi justru berubah menjadi alat untuk mempermalukan orang lain.  Fenomena ini menunjukkan pentingnya pendidikan literasi digital dan empati di perguruan tinggi agar mahasiswa memahami batas etika dalam berinteraksi di media sosial.

Selain itu, kasus ini menyoroti kesenjangan dalam sistem pendampingan dan perlindungan mahasiswa. Banyak korban memilih diam karena kampus belum memiliki sistem pengaduan yang aman dan mudah diakses. Universitas seharusnya tidak hanya berfokus pada capaian akademik mahasiswa, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental dan sosial. Untuk mencegah tragedi serupa, layanan konseling, pelatihan organisasi kemahasiswaan, serta penegakan kode etik menjadi hal yang sangat penting. Kampus juga perlu meninjau kembali cara penerapan pembinaan karakter dan empati dalam kehidupan mahasiswa sehari-hari.

Sumber: kalderanews

Kasus di Universitas Udayana bukan hanya tentang kehilangan seorang mahasiswa, tetapi juga mencerminkan krisis kemanusiaan di dunia pendidikan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kecerdasan tanpa empati hanya akan melahirkan generasi yang pintar, tetapi tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Publik kini menantikan tindakan nyata dari pemerintah dan kampus dalam memperkuat sistem pencegahan perundungan di seluruh perguruan tinggi Indonesia. Dalam konteks ini, kampus seharusnya menjadi ruang untuk menumbuhkan empati, menghormati perbedaan, dan menjaga sesama, bukan sekadar tempat mengejar prestasi akademik. (RR/SZA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *