Di era digital saat ini, pembahasan soal kesehatan mental menjadi hal yang umum dan tidak lagi dianggap tabu. Banyak orang mulai terbuka menyampaikan apa yang mereka rasakan, seperti soal stres, kecemasan, maupun tekanan hidup lainnya. Ini merupakan kemajuan penting karena dulu masalah psikologis sering dianggap remeh atau bahkan memalukan untuk dibicarakan.
Namun, di balik meningkatnya kesadaran tersebut, muncullah tantangan baru, yaitu ketika kesehatan mental digunakan sebagai alasan, bukan sebagai kesadaran. Misalnya, saat seseorang berkata, “Aku nggak sanggup ngerjain tugas, mental aku lagi down,” dan tidak ada usaha untuk memperbaiki atau memahami kondisinya lebih dalam lagi. Apakah ini benar berhubungan dengan keadaan psikologis kita atau hanya alasan semata untuk membenarkan tidak melakukan tanggung jawab kita sebagai seorang pelajar? Jika ini dibiarkan terjadi terus-menerus, akan muncul justifikasi yang menyesatkan, seolah-olah semua bisa dibenarkan hanya dengan menyebut “mental health”. Padahal, hal ini justru bisa merusak makna sebenarnya dari pentingnya menjaga kesehatan mental.
Jika kesehatan mental hanya dijadikan sebagai alasan untuk menghindar, maka akan timbul stigma baru di masyarakat, bahwa semua keluhan psikologis hanya dalih atau bentuk pembelaan diri. Akibatnya, orang yang benar-benar membutuhkan bantuan bisa jadi tidak dipercaya, bahkan disepelekan. Padahal, menjaga kesehatan mental seharusnya menjadi tanggung jawab, bukan sekadar pengakuan saja.
Sumber: Inspira Health Network (2020)
Tanggung jawab ini berarti sadar atas kondisi diri dan berani untuk mencari solusinya. Tidak cukup hanya mengatakan, “Aku sedang tidak baik-baik saja,” tetapi juga perlu bertanya: “Apa yang bisa aku lakukan untuk pulih?” Di sinilah letak pentingnya kesadaran. Kita perlu mengenali diri sendiri lebih dalam lagi, belajar mengelola stres, dan tahu kapan harus meminta bantuan.
Beberapa hal yang bisa dilakukan, antara lain, mengatur waktu dan aktivitas dengan lebih seimbang, beristirahat saat tubuh dan pikiran butuh jeda, berbagi cerita dengan orang yang bisa dipercaya, dan tidak ragu untuk berkonsultasi kepada ahli jika diperlukan. Selain itu, lingkungan yang suportif seperti teman, keluarga, atau komunitas juga berperan besar dalam proses pemulihan.
Kesadaran akan kesehatan mental bukan berarti harus selalu kuat atau sempurna, tetapi tahu kapan harus beristirahat dan kapan harus bangkit. Jangan biarkan kesehatan mental hanya menjadi kata-kata yang diulang tanpa makna. Jadikan sebagai pengingat bahwa kita berhak merasa lelah, tetapi juga bertanggung jawab untuk sembuh. (FNZ/ARL)
You may also like
Saat Ketegangan Timur Tengah Mengoyak Ekonomi dan Meremukkan Harapan Rakyat
Seni Memaksimalkan Jeda: Mengelola Waktu Liburan untuk Rejuvenasi Optimal
COC Kembali, Waktunya Pelajar Unjuk Aksi dan Prestasi
Challenge Detoks Media Sosial: Berani Coba? Cek Manfaatnya!
Selat Hormuz: Jalur Kecil yang Menggenggam Dunia