Sumber: instagram.com/jeromepolin
Belakangan ini, mungkin kamu sering mendengar istilah “17+8 Tuntutan Rakyat” berseliweran di media sosial atau pemberitaan. Banyak yang membicarakannya, tetapi masih ada juga yang bingung, sebenarnya apa maksud gerakan ini? Siapa yang memulainya? Mengapa bisa jadi topik hangat di mana-mana dan bagaimana cara kita ikut terlibat?
Semua ini berawal dari satu pertanyaan sederhana, yaitu “Sampai kapan kita hanya diam?” Masyarakat yang selama ini merasa aspirasinya tidak pernah benar-benar didengar mulai bersuara lewat kolom komentar, thread panjang di X, Instagram Story, hingga aksi turun ke jalan. Dari obrolan yang awalnya terpecah-pecah, lahirlah satu rangkuman besar yang kini dikenal sebagai 17+8 Tuntutan Rakyat.
Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat tidak digagas oleh satu kelompok saja, melainkan lahir dari koalisi besar yang terdiri atas 211 organisasi masyarakat sipil, kelompok mahasiswa, serikat buruh, hingga akademisi. Bahkan, petisi daring di Change.org yang menyerukan reformasi, transparansi, dan empati telah mengumpulkan lebih dari 40.000 tanda tangan, menunjukkan besarnya dukungan masyarakat.
Yang menarik, banyak public figure, seperti Jerome Polin, Andovi da Lopez, Fathia Izzati, dan Salsa Erwina ikut menyuarakan gerakan ini lewat platform digital mereka. Kehadiran mereka memperkuat pesan gerakan ini. Hasilnya, isu yang tadinya mungkin dianggap serius dan berat menjadi lebih dekat dengan generasi muda, menyebar lebih cepat, dan tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Istilah 17+8 merujuk pada 17 tuntutan jangka pendek yang diberi tenggat waktu satu minggu serta delapan tuntutan jangka panjang dengan batas waktu satu tahun. Angka ini dipilih karena memiliki simbolisme kuat, yaitu 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia yang mencerminkan semangat pembebasan rakyat dari ketidakadilan.
Sumber: instagram.com/jeromepolin
Gerakan ini lahir dari ketidakpuasan rakyat terhadap sejumlah persoalan, seperti kenaikan tunjangan anggota DPR, dugaan penyalahgunaan kekuasaan aparat, ketimpangan ekonomi, kriminalisasi terhadap aktivis dan demonstran, serta berbagai kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat. Rakyat merasa bahwa suara mereka tidak cukup didengar sehingga dibutuhkan sebuah daftar tuntutan yang jelas dan terstruktur.
Dokumen 17+8 Tuntutan Rakyat diberikan kepada DPR RI pada Kamis, 4 September 2025. Penyerahan dokumen ini dilakukan oleh perwakilan dari Kolektif 17+8 Indonesia Berbenah di depan Gedung DPR RI di Jakarta. Selain itu, gerakan ini terus didorong melalui aksi demonstrasi dan kampanye digital agar publik semakin sadar dan terlibat dalam proses perubahan.
Rakyat telah bersuara, menulis tuntutan, dan menunggu jawaban. Lalu, bagaimana respons dari pemerintah? Apakah pemerintah masih sibuk menatap layar, menimbang kata-kata, dan menyusun retorika yang terdengar indah, sementara suara rakyat menggema di jalanan, di media sosial, dan di setiap sudut kehidupan masyarakat yang terdampak kebijakan?
Kini giliran pemerintah menjawab. Apakah suara rakyat didengar dan diperjuangkan atau hanya disimpan di lemari janji, sementara kursi dan tunjangan tetap rapi di tangan sendiri? Mari, kawal bersama setiap langkahnya karena hanya dengan partisipasi aktif kita, perubahan itu bisa benar-benar terwujud. (ASM/ARL)
You may also like
Enam Strategi Penting agar Demonstrasi Berlangsung Damai Tanpa Anarki
From Textbooks to Chromebooks: How Digital Tools Shape Gen Z Learning
Maulid Nabi Muhammad: Meneladani Kepemimpinan yang Adil di Tengah Kekecewaan pada Kekuasaan
Riuh di Jalanan, Dentum Demokrasi
KILAS BALIK SEMINGGU AKSI: DARI TERIAKAN MASSA MENUJU PERNYATAAN ISTANA