Sumber: Gramedia.com

Menyelami Jiwa Indonesia melalui Film, Musik, dan Sastra

Tahukah kamu lagu “Tabole Bale” yang beberapa waktu lalu sukses membuat seluruh tamu kenegaraan berjoget di Istana Merdeka? Momen tersebut bukan sekadar hiburan, lho, melainkan sebuah penegasan betapa kuatnya karya seni dalam merepresentasikan kekayaan budaya bangsa. Gema musik dari Nusa Tenggara Timur itu sontak memecahkan suasana khidmat setelah upacara peringatan kemerdekaan 17 Agustus lalu. Sama dengan lagu “Pica-Pica” dari Maluku yang beberapa waktu lalu sempat ramai di media sosial, lagu ini juga memadukan unsur budaya Timur Indonesia dengan musik modern yang menggambarkan identitas daerah sekaligus membawa suasana energik dan kegembiraan.

Nah, selain musik, film dan sastra juga merupakan cermin yang luar biasa untuk merefleksikan budaya Indonesia, lho. Keduanya sering kali menjadi jendela bagi kita untuk mengintip berbagai sudut pandang, tradisi, hingga gejolak sosial yang ada di tengah masyarakat.

Mari kita ambil contoh dari dunia layar lebar. Masih ingat dengan film yang berhasil menguras air mata sekaligus tawa penonton beberapa tahun lalu? Ya, film Ngeri-Ngeri Sedap, yang disutradarai oleh Bene Dion Rajagukguk tahun 2022 lalu. Film ini adalah potret hangat tentang dinamika keluarga Batak. Melalui kisah keluarga Pak Domu, penonton diajak memahami betapa kuatnya adat dan tradisi dalam membentuk hubungan keluarga sekaligus melihat adanya pergeseran nilai di kalangan generasi muda yang merantau. Isu tentang ekspektasi orang tua, kerinduan akan kampung halaman, dan cara berkomunikasi yang khas menjadi cerminan nyata dari sebagian budaya masyarakat di Indonesia.

Tidak hanya lewat audio-visual, jiwa Indonesia juga terukir abadi dalam lembaran sastra. Dua mahakarya berikut, misalnya, telah lama menjadi referensi untuk memahami Indonesia lebih dalam.

Sumber: Gramedia.com

1. Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari

Novel ini membawa kita menyelami kehidupan sebuah dusun kecil di Jawa yang terisolasi. Melalui tokoh bernama Srintil, seorang penari ronggeng, Ahmad Tohari dengan piawai menggambarkan tradisi, mitos, kemiskinan, dan pergolakan politik yang membekas di pedesaan. Sastra ini menjadi refleksi budaya agraris dan mistis yang pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan masyarakat Jawa.

2. Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer

Berlatar pada era Kolonial, novel ini adalah cerminan dari pergulatan identitas bangsa Indonesia di masa awal kebangkitan nasional. Pramoedya menggambarkan dengan detail struktur sosial yang timpang, perlawanan halus terhadap ketidakadilan, serta tumbuhnya kesadaran akan harga diri sebagai seorang pribumi. Bumi Manusia bukan sekadar cerita, melainkan rekaman jiwa sebuah bangsa yang sedang mencari bentuknya.

Dari panggung istana yang semarak, hangatnya ruang keluarga di layar bioskop, hingga renungan mendalam di setiap halaman novel, semuanya adalah bagian dari mosaik besar bernama Indonesia. Film, musik, dan sastra bukanlah sekadar produk hiburan. Mereka adalah narasi, rekaman zaman, sekaligus cerminan dari harapan, kritik, dan cinta terhadap negeri ini. Inilah kekayaan budaya yang sesungguhnya, sebuah warisan budaya yang terus hidup dan bercerita dari generasi ke generasi. (AML/NRL)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *