Lingkungan kampus sering dianggap sebagai benteng ideal yang menjunjung tinggi kebebasan intelektual, ekspresi, dan keamanan bagi setiap mahasiswa. Namun, di balik narasi kemuliaan tersebut, sesungguhnya tersembunyi ancaman yang nyata dan meresahkan. Salah satunya adalah catcalling, bentuk teror verbal yang mengikis martabat dan rasa aman, terutama bagi mahasiswi. Fenomena tersebut meliputi siulan, komentar seksual yang tidak diinginkan, godaan, hingga ujaran merendahkan atau bahkan sekadar kata “gurauan tidak sengaja” atau “pujian jalanan” yang tidak berbahaya. Di lingkungan akademik, catcalling bertransformasi menjadi bentuk pelecehan seksual non-fisik yang berpotensi menimbulkan trauma psikologis mendalam.
Pada saat ini, kasus catcalling marak terjadi di lingkungan kampus ternama di Jakarta. Hal tersebut menegaskan bahwa masalah tersebut tidak hanya tentang isu pinggiran, tetapi isu serius yang mengancam kredibilitas institusi pendidikan. Perilaku catcalling menciptakan iklim intimidasi yang memaksa para korban untuk hidup dalam kewaspadaan sehingga memberikan dampak yang berujung pada rasa tidak nyaman yang mendalam. Hal tersebut disebabkan karena korban merasa cemas dan terintimidasi hingga membatasi mobilitas mereka di area kampus atau mengubah cara berpakaian demi menghindari perhatian yang tidak diinginkan.

Sumber: introrealita.com
Catcalling berakar kuat pada ketidakselarasan gender dan budaya patriarki yang menempatkan laki-laki dalam posisi superior sehingga dianggap berhak untuk mengomentari tubuh dan penampilan perempuan. Walaupun secara umum korban utama adalah perempuan, penekanan pada hak untuk merasa aman dan dihormati berlaku untuk seluruh gender, baik wanita maupun pria. Oleh karena itu, penting untuk menggarisbawahi bahwa catcalling adalah bentuk kekerasan seksual verbal, meskipun sering dianggap sebagai gurauan atau pujian, tetapi kita tidak pantas untuk menormalisasi tindakan tersebut.
Dalam konteks kampus, institusi pendidikan memiliki tanggung jawab moral dan etis. Peran kampus bukan hanya menyediakan ruang diskusi intelektual, tetapi juga ruang fisik dan psikologis yang bebas dari segala bentuk pelecehan dan intimidasi. Untuk mengatasi catcalling memerlukan edukasi yang masif, perubahan paradigma budaya, dan penegakan sanksi tegas agar dapat melindungi martabat individu sebagai landasan dari setiap proses pembelajaran (SAP/FTH).
You may also like
Pasca-Ujian Tengah Semester: Istirahat Dulu atau Overthinking Nilai?
Dahulu Belajar Akuntansi, Sekarang Jadi Content Creator
Frugal Living: Strategi Bertahan Hidup di Tengah Gempuran Ekonomi Modern
Magang Bergaji vs Magang Non-Bergaji: Ini Hal Penting yang Perlu Diketahui oleh Mahasiswa!
Krisis Empati Mahasiswa: Kasus Bullying di Universitas Udayana dan Implikasinya bagi Kampus Indonesia
