Merah Putih: One For All, Antara Bendera di Langit dan Bayangan di Layar

Di tengah gegap gempita jelang perayaan hari kemerdekaan yang ke-80, layar perak Indonesia menyambut kehadiran film Merah Putih: One For All, sebuah karya animasi yang dimaksudkan sebagai pelita persatuan. Film garapan sutradara Endiarto dan Bintang Takari ini bak kapal layar yang berangkat di tengah badai, mengibarkan panji nasionalisme sambil menembus arus deras kritik publik.

Cerita berpusat pada delapan anak dari penjuru negeri, yakni Betawi, Papua, Medan, Tegal, Jawa Tengah, Makassar, Manado, hingga keturunan Tionghoa yang disatukan oleh satu misi, yaitu menemukan kembali bendera pusaka yang hilang menjelang upacara kemerdekaan. Mereka menembus rimba, menyeberangi sungai, bahkan melawan badai. Perjuangan mereka bukan sekadar demi selembar kain merah putih, melainkan untuk merajut kembali simpul-simpul persaudaraan.

Seperti mozaik yang tersusun dari kepingan berbeda, kisah ini ingin menunjukkan bahwa perbedaan adalah warna, bukan jurang. Namun, sebagaimana benang yang harus ditenun dengan sabar, kekuatan persatuan tidak lahir dari ambisi semata, melainkan dari keikhlasan melebur ego.

Sumber: Metro TV

Alih-alih menjadi layar yang memantulkan cahaya kebanggaan, film ini justru dibalut bayang-bayang kritik. Warganet menyoroti kualitas animasi yang dinilai kaku seperti sebuah lukisan yang belum sempat diberi sentuhan akhir. Tuduhan penggunaan aset visual siap pakai dari luar negeri, beberapa di antaranya disebut berasal dari DAZ 3D, menambah bara dalam tungku perdebatan, terlebih dengan klaim anggaran produksi mencapai Rp6,7 miliar dengan proses pengerjaan kurang dari satu bulan.

Bagi sebagian penonton, ini seperti mengundang tamu terhormat ke pesta, tetapi menyajikan hidangan yang setengah matang.

Sumber: Kompas.com

Produser Toto Soegriwo memilih menanggapi badai kritik dengan senyum tipis. “Senyumin aja, komentator lebih pandai dari pemain,” ujarnya, seolah kapal yang dikemudikannya tidak akan goyah meski ombak meninggi. Namun, pada faktanya, film Merah Putih: One For All ini harus menelan senyum pahit karena batalnya penayangan di layar perak bioskop Indonesia.

Nada prihatin terdengar dari Ketua Badan Perfilman Indonesia, Gunawan Paggaru, yang mengingatkan bahwa layar animasi Indonesia pernah berkilau lewat karya, seperti Jumbo. Baginya, penayangan di tengah kontroversi bisa menjadi noda yang sulit dihapuskan. Pemerintah pun mulai bertindak. Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, menyatakan bahwa pihaknya tengah memeriksa dugaan pelanggaran hak cipta. “Dalam dunia kreatif, orisinalitas adalah mata uang yang tak ternilai dan sekali nilainya jatuh, sulit untuk mengembalikannya,” ujarnya.

Sumber: CNN Indonesia

Merah Putih: One For All adalah cermin yang memantulkan dua wajah industri animasi kita, yaitu semangat membumbung tinggi seperti layang-layang di bulan Agustus dan tantangan berat yang menahannya dari terbang terlalu jauh. Film ini mengingatkan bahwa mencintai negeri bukan hanya soal mengibarkan bendera, tetapi juga memastikan tiang penyangganya kokoh, baik dari segi kualitas teknis, integritas, maupun penghargaan pada karya orisinal.

Mungkin ketika layar bioskop kembali gelap, yang tertinggal bukan hanya cerita delapan anak yang mencari bendera, tetapi juga pertanyaan “Apakah kita sudah benar-benar siap membawa nama Indonesia dengan karya yang tidak hanya lantang, tetapi juga gemilang?” (ADS/SYN)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *