Di tengah suasana kampus yang penuh dengan ambisi dan ekspektasi yang tinggi, menjadi mahasiswa produktif sering kali dijadikan tolok ukur keberhasilan. Seseorang dianggap sukses jika mampu membagi waktu antara akademik, organisasi, magang, bisnis sampingan, serta sederet kegiatan lainnya. Namun, di balik kesibukan berlebihan ini, mulai muncul kesadaran baru bahwa produktif itu bukanlah segalanya. Bahkan, dalam banyak kasus, produktif dapat berubah menjadi racun.Fenomena toxic productivity bukan hanya istilah populer di media sosial. Fenomena ini hadir saat seseorang merasa bersalah ketika beristirahat atau menyelinap saat mahasiswa lain memaksakan diri untuk tetap sibuk, meski tubuh dan pikirannya sudah memberi tanda untuk berhenti. Ironisnya, dalam budaya kampus yang menjunjung tinggi prinsip “mahasiswa serba bisa”, rasa lelah ini sering kali tidak mendapatkan ruang untuk dibicarakan.
Sumber: osc.medcom.id
Budaya Sibuk yang Menyesatkan
Dalam lingkungan akademik, sibuk telah menjadi simbol prestise. Mahasiswa yang aktif di banyak kegiatan sering kali dipuji, diberi sorotan, bahkan dijadikan panutan, sedangkan mereka yang memilih fokus hanya pada satu atau dua hal dianggap kurang berambisi. Hingga tanpa sadar, mahasiswa saling membandingkan diri, lalu mengukur harga diri dari seberapa padat jadwal mereka.
Namun, yang jarang disorot adalah sisi gelap di baliknya, yaitu kelelahan kronis, gangguan tidur, stres berkepanjangan, hingga isolasi sosial. Bahkan, beberapa riset menyebutkan bahwa tekanan produktivitas dapat memicu penurunan kepercayaan diri, depresi ringan hingga berat, dan pada titik tertentu mengakibatkan kehilangan makna hidup.
Cukup Bukan Berarti Gagal
Kata cukup sering kali dikaitkan dengan rasa kalah. Padahal, mengatakan “cukup” dapat menjadi bentuk keberanian yang luar biasa. Dalam dunia yang menuntut kita untuk terus berlari, mereka yang berani berhenti sejenak untuk mendengarkan diri sendiri adalah yang benar-benar sadar.
Mahasiswa tidak harus menjadi pahlawan dalam segala hal. Tidak harus ikut lima organisasi sekaligus. Tidak harus lulus dengan portofolio gemilang yang membuat orang lain terintimidasi. Yang terpenting adalah bertumbuh dengan cara yang sehat dan sesuai dengan kapasitas diri.
Maka dari itu, penting bagi setiap mahasiswa untuk mulai menata ulang hubungan mereka dengan produktivitas. Bukan dengan menolak aktivitas, tetapi dengan menyaring niat “Apakah aku melakukan ini karena ingin atau karena takut ketinggalan?” dan “Apakah aku sibuk karena butuh berkembang atau karena takut dinilai gagal?”
Ruang untuk Menjadi Manusia
Mahasiswa bukan mesin. Mereka adalah manusia dengan segala kompleksitasnya. Mereka butuh belajar, istirahat, merasa lemah, bangkit kembali, dan bertumbuh dalam ritme yang manusiawi dan sesuai. Mendorong budaya kampus yang ramah terhadap kesehatan mental tidak hanya tugas institusi, tetapi juga tanggung jawab bersama.
Karena pada akhirnya, hidup bukanlah tentang menjadi yang paling sibuk, tetapi paling sadar dan paling utuh. Dalam proses menemukan keutuhan itu, satu kata dapat menjadi awal perubahan besar, yaitu “cukup”. Mari, kita akhiri budaya “mahasiswa multitasking tanpa batas”! Ayo, kita rayakan keberanian untuk istirahat! (SA/ARL)
You may also like
Merah Putih: One For All, Antara Bendera di Langit dan Bayangan di Layar
PENGABDIAN MASYARAKAT: INTERNATIONAL COMMUNITY SERVICE
Generasi Z Menyapa Musik 90-an sebagai Nostalgia yang Tak Pernah Mati
Lanjutkan Komitmen Pemberdayaan UMKM, FEB UNJ Gelar Workshop Keuangan dan Legalitas Usaha
Apakah Playlist Favorit Dapat Mencerminkan Kepribadian Seseorang?