Generasi Z tumbuh di era teknologi yang menjadikan identitas sebagai tontonan atau komoditas. Laki-laki disebut performatif apabila menampilkan citra yang indah, sensitif, dan kontemporer di ruang publik dan media sosial. Fenomena tersebut sering dianggap sebagai pergeseran dari maskulinitas konvensional yang menekankan pada kekuatan, otot, dan kontrol. Dengan cerita, gaya hidup, dan cara hidup yang lebih fleksibel, generasi Z mengubah definisi maskulinitas. Sebelumnya, maskulinitas diukur dari bentuk tubuh dan status sebagai pemimpin keluarga.
Namun, saat ini, generasi Z mengadopsi gaya yang menggabungkan kekuatan maskulinitas konvensional dengan estetika fisik yang menarik. Laki-laki performatif dapat dikenal dan dilihat dari kebiasaan sederhana yang menjadi viral di TikTok, seperti membaca puisi, minum matcha latte, atau mengenakan pakaian artistik. Performa dan perasaan yang ditunjukkan di media sosial lebih penting daripada kehadiran langsung. Jadi, tidak perlu merasa heran jika tren tersebut menghasilkan standar baru tentang cara laki-laki menarik perhatian melalui penampilannya.

Sumber: Business Insider
Menariknya, sebagian besar laki-laki generasi Z menggabungkan kedua hal tersebut dengan mengikuti tren dan gaya hidup yang diiringi olahraga. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya yaitu mencari identitas baru, menarik perhatian pasangan, dan membangun strategi untuk tetap terlibat di media sosial. Fenomena tersebut dicermati oleh industri konsumsi yang menjual skincare pria, mode unisex, dan gaya hidup fitness. Dalam kasus tersebut, laki-laki performatif tidak hanya tentang masalah gaya pribadi, tetapi bagian dari arus besar budaya pop dan kapitalisme simbolik.
Selain itu, fenomena tersebut memberikan dampak dari berbagai sisi, seperti memungkinkan laki-laki untuk menunjukkan sisi emosional, sensitif, dan estetik tanpa dianggap lemah. Langkah tersebut bertujuan untuk mengurangi stereotip negatif yang dimiliki oleh laki-laki sebelumnya dengan membatasi mereka melalui citra yang kuat, tegas, dan rasional. Akan tetapi, fenomena performatif tersebut menuai kritik karena berbagai risiko, seperti gaya yang dangkal dan penuh pencitraan. Di sisi lain, hal tersebut tetap menciptakan standar baru yang menekankan pada tuntutan media sosial bahwa laki-laki harus selalu terlihat menarik dan berkarakter. Oleh karena itu, dengan adanya fenomena tersebut, sebagian besar laki-laki merasa terjebak di antara tekanan untuk tetap relevan di mata orang lain dan keinginan untuk tampil sesuai dengan keinginan diri sendiri. (LN/FTH)
You may also like
Surat Izin Menstruasi: Cara Laurier Ubah Stigma Jadi Dukungan Nyata
Menelusuri Suasana Malam di Taman Margasatawa Ragunan
Dari Tempat Belajar Jadi Puing: Tragedi Ponpes Al Khoziny yang Bikin Geger Sidoarjo
Kekalahan Indonesia vs Arab Saudi 2–3 di Jeddah: Skor Berat untuk Harapan Garuda
Garuda Melawan Sampai Akhir! Indonesia Takluk 2–3 di Tangan Arab Saudi